
Penyakit itu ternyata menjadi sentuhan pertama rahmat Tuhan. Pengalaman sakit membuka proses pertobatan Fransiskus, yang berlangsung kira-kira empat tahun. Pertobatan itu menjadi perjuangan sengit, ba dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya. Setelah sembuh Fransiskus tidak senang lagi dengan cara hidupnya dahulu. Ia sendiri heran sekali bahwa apa yang dahulu menarik, menggembirakan dan menyenangkan, tiba-tiba kehilangan daya tariknya. Meskipun Fransiskus memaksa diri kembali kepada teman-temannya untuk meneruskan kegirangan dahulu, namun ia semakin merasa bosan. Hidup semacam itu dialaminya sebagai hampa, kosong, dan tidak berarti. Usaha dagang ayahnya sebenarnya tidak menarik sama sekali bagi Fransiskus. Karena itu, Fransiskus mulai mencari-cari sesuatu yang dapat mengisi hidupnya. Suatu malam Fransiskus bermimpi melihat sebuah benteng besar (sebagaimana dimiliki kaum bangsawan zaman itu), penuh dengan perlengkapan senjata bagi ksatria. Fransiskus mendengar suatu suara yang menjelaskan bahwa semua itu untuk Fransiskus serta kawan-kawannya. Fransiskus terbangun. dan mengira mendapat ilham jelas tentang apa yang dapat mengisi hidupnya, la mau menjadi ksatria! Kesempatan untuk melaksanakan hal itu segera terjadi. Seorang bangsawan dari Asisi mempersiapkan pasukannya untuk pergi ke Italia Selatan. Di sana akan bergabung dengan pasukan paus yang dipimpin oleh Walter dari Brienne. berperang melawan pasukan kaisar Jerman untuk membela kepentingan paus. Fransiskus ikut sebagai sukarelawan dengan harapan akan dijadikan ksatria.
Ia membeli perlengkapan senjata yang bagus dengan uang ayahnya walaupun sebelum berangkat perlengkapan itu diberikan kepada seorang ksatria. Ia berangkat menuju ke selatan, tetapi tidak sampai, sebab di kota Spoleto Fransiskus yang sedang menderita penyakit malaria-mendengar suatu suara berkata, “Siapa mengganjar lebih baik, majikan atau hamba? Mengapa engkau meninggalkan majikan untuk hamba; tuan yang kaya untuk orang yang melarat?” Fransiskus mengerti bahwa jalan keduniaan yang mau ditempuhnya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Segera Fransiskus kembali ke Asisi, meskipun merasa malu. Pasti kawan-kawannya mengejek bahwa orang yang baru saja berangkat untuk menjadi pahlawan, secepat itu kembali. Begitulah Fransiskus! Kalau berpendapat harus berbuat begitu atau begini, ia tidak mundur terhadap desakan dari luar. Ternyata Fransiskus tidak hanya riang gembira, tetapi juga berwatak nekad.
Bagaimana selanjutnya? Ini pun belum jelas bagi Fransiskus. Fransiskus mulai rajin menjalankan perintah- perintah keagamaan. Ia menyendiri, bertapa dan berdoa serta kerap menyembunyikan diri di gunung dan gua-gua yang ada di sekitar kota Asisi. Sesuai dengan wataknya, Fransiskus secara resmi minta diri kepada teman-temannya. Ia mengadakan sebuah perjamuan besar-besaran, dan setelah makan-minum kelompok pemuda itu berkeliling kota sambil bernyanyi dan main gitar. Teman-temannya merasa bahwa Fransiskus tidak ikut dengan sebulat hati, dan bahwa ada sesuatu yang menekan batinnya. Akhirnya Fransiskus menyampaikan niatnya dengan caranya sendiri. la menjelaskan bahwa telah terpikat pada seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Terserah apa yang mereka pikirkan, Fransiskus sendiri terus berpikir akan “NONA KEMISKINAN” yang mau dipeluknya.

Sebab sementara bertapa dan berdoa Fransiskus semakin condong kepada orang miskin, malang dan yang melarat, la menolong mereka dengan uang ayahnya. Akan tetapi, ia belum juga menyelami kemiskinan yang sebenarnya, seperti nasib orang-orang malang itu. Maka Fransiskus berziarah ke Roma, ke makam Petrus dan Paulus untuk mencari penerangan tentang apa yang harus diperbuatnya. Di Roma ia menyaksikan banyak orang kaya raya hanya memberikan derma kecil bagi keperluan Gereja. Pada tangga-tangga gereja banyak pengemis yang minta sedekah dari orang yang masuk dan keluar. Fransiskus merasa jengkel akan orang-orang kaya yang kikir itu, maka seluruh uang yang dibawanya dilemparkannya di atas makam kedua rasul, tempat orang biasa meletakkan sedekahnya. Lalu Fransiskus meminjam pakaian buruk dan compang-camping seorang pengemis dan duduk di tangga gereja minta sedekah dari orang yang masuk-keluar. Fransiskus mengalami sendiri nasib orang miskin.
Sepulang dari Roma Fransiskus tetap belum jelas apa yang harus dikerjakannya. Kemudian ada sebuah pengalaman, yang oleh Fransiskus sendiri diartikan sebagai saat pertobatannya. Terjadinya begini. Pada suatu hari Fransiskus naik kuda dan berjumpa dengan seorang yang sakit kusta. Penyakit itu selalu sangat menjijikkan Fransiskus. Ia menolong orang-orang malang itu, tetapi selalu melalui orang lain, dan menghindari mereka. Melihat mereka, Fransiskus bahkan melarikan diri. Akan tetapi, hari itu lain dengan sebelumnya. Setelah berperang dengan diri sendiri, ia turun dari kudanya, memeluk dan mencium orang kusta itu. Anehnya, apa yang dahulu sangat pahit dan menjijikkan tiba-tiba menjadi manis dan sedap bagi Fransiskus.

la mengalahkan diri, kemenangan mutta syarat penting untuk taat kepada kehendak Tuhan yang sedang dicari Fransiskus. Selanjutnya Franziskus banyak mengunjungi orang kusta yang ditampung dalam sebuah rumah di luar kota Asisi, la merawat mereka, memberi makan dan pakaian serta menghibur makhluk yang malang, yang ditinggallkan semua orang
Fransiskus tetap tidak puas, la merasa bahwa menjadi perawat orang sakit juga bukan panggilannya, la tidak menemukan orang yang dapat menolong dan memberi petunjuk kepadanya. la memang bersahabat dengan Uskup Guide, yang dengan minat besar mengikuti pergumulan hidup Fransiskus, tetapi Uskup Guido seorang pemimpin rohani yang bijaksana dan unggul, yang tidak mau campur tangan dalam urusan Tuhan dan panggilan Fransiskus, la tidak mau mendorongnya ke sana atau ke situ, la yakin bahwa suatu rahasia terjadi antara Tuhan dengan Fransis kus:
Pada tahun 1206 terjadi sebuah peristiwa lain yang mengarahkan Fransiskus pada perkembangan selanjutnya. Suatu hari Fransiskus membawa setumpukan kain wol dari toko ayahnya untuk dijual di Foligno, la singgah sebentar di sebuah gereja kecil di pinggir kota Asisi, yaitu San Damiano, untuk berdoa, la berlutut di depan sebuah salib bergaya Bisantin. Sedang berdoa Fransiskus mendapat kesan bahwa salib itu mulai berbicara kepadanya. Fransiskus seolah-olah mendengar suara yang berkata, “Fransiskus, tidakkah kaulihat bahwa rumah-Ku nyaris roboh menjadi puing-puing? Pergilah, dan perbaikilah itu bagi-Kul” Gereja San Damiano memang sudah tua sekali dan tidak terurus sehingga hampir roboh.
Pikiran mengenai memperbaiki gereja dianggapnya sebagai tugas pang gilannya. Sesuai dengan watak spontannya, ia segera melaksanakan tugas itu, la naik kuda, pergi ke Foligno menjual bawaannya, termasuk kudanya, lalu kembali ke San Damiano, Seluruh uang yang dibawanya ditawarkan kepada pastor setempat untuk memperbaiki gereja. membeli minyak bagi lampu Tuhan dan sebagainya. Karena heran dan takut nanti ada kesulitan, pastor menolak. Beliau memang sudah mendengar banyak tentang anak Pietro Bernardone itu. Akan tetapi, Fransiskus meletakkan uang itu di jendela gereja, dan tidak mau membawanya lagi.
Fransiskus tidak pulang ke rumah, tetapi menetap di pastoran San Damiano. Ini agaknya membingungkan pastor, namun beliau mengizinkan. Kadang-kadang Fransiskus pergi ke kota Asisi mengumpulkan minyak dan sebagainya untuk keperluan gereja. Mula-mula Fransiskus makan apa yang dihidangkan pastor, tetapi ia merasa itu kurang pantas, dan membebani pastor. Maka setiap hari ia ke kota, berkeliling minta makanan pada warga kota, bahkan pada bekas temannya. Mula-mula itu memang berat bagi Fransiskus, tetapi sekali lagi ia nekad dan rak mau mundur sedikit pun. Ia memperbaiki Gereja San Damiano dengan tangannya sendiri, bahkan mencoba mengajak orang lain untuk menolongnya. Selesai gereja itu. Fransiskus menangani kapela-kapela dan gereja-gereja lain yang tidak terurus di sekitar kota Asisi. Ia sendiri mencari dan meminta bahan bangunan yang diperlukan. Penduduk Asisi yang menyaksikan itu merasa heran dan menganggap sebagai suatu keganjilan lain dari “pemuda gondrong” itu. Tidak jarang Fransiskus diejek dan dicaci-maki. Ada orang yang meneriakkan ejekan, “ORANG SINTING, IL PAZZO!” Bahkan adik Fransiskus sendiri turut mengejek kakaknya.


Ayah Fransiskus tidak senang akan perkembangan baru anaknya itu. Harga dirinya sebagai ayah, orang berada dan terkemuka di kota amat tertusuk hatinya. Keluarganya menjadi buah bibir dan tertawaan di kota. Pietro Bernardone memutuskan untuk bertindak tegas dan menertibkan anak pembangkang yang setengah liar dan berandal itu. la mencari dan menangkapnya, memukul dan dengan paksa menyeretnya ke rumah. Fransiskus dijeblos- kan ke dalam sebuah kamar yang terkunci rapat dan tidak akan dikeluarkan sebelum bertobat. Ibu Fransiskus, yang mesti memberi makan dan keperluan-keperluan lain kepada anaknya, sangat sedih hati dan menasihati Fransiskus agar kembali ke jalan yang lurus, dan menjadi anak yang taat. Akan tetapi, baik kekerasan ayah maupun kesedihan dan air mata ibu, tidak berhasil menggoncangkan Fransiskus. Ketika ayah Fransiskus bepergian lagi, Ibu Pika melepaskan Fransiskus, yang kemudian melarikan diri kembali ke San Damiano. Kedatangan Fransiskus mengejutkan pastor, yang belum pernah menghadapi situasi semacam itu, dan juga takut kalau-kalau Pietro akan mengambil tindakan. Kiranya atas anjuran Uskup Guido, pastor di San Damiano meng- izinkan Fransiskus menetap di pastoran lagi. Fransiskus meneruskan kerjanya sebagai “pemugar gereja-gereja”.
Sekembalinya dari perjalanan Pietro menemukan kamar kosong dan ia insaf bahwa tidak maju selangkah pun dalam menertibkan anaknya. Ia naik pitam dan memutus- kan mengikutsertakan pemerintah kota dalam usahanya untuk mengembalikan Fransiskus. Seandainya Fransiskus tetap tidak mau, maka ayahnya akan menolak Fransiskus sebagai anak dan hak warisan dicabut. Ia meminta pemerintah kota untuk mengirim polisi ke San Damiano mengambil Fransiskus dan menyeretnya ke pengadilan kota.
Akan tetapi wali kota menjelaskan, bahwa pemerintah tidak berdaya. Fransiskus menetap di San Damiano sebagai “pelayan” Gereja, sehingga menurut adar kebiasaan zaman itu dan sesuai dengan hukum Gereja hanya uskup saja yang berwenang, Selain itu, Fransiskus memakai uang dan barang ayahnya untuk membangun gereja-gereja, yang juga milik keuskupan. Pietro Bernardone tidak kehilangan akal. la menghadap uskup, dan menuntur supaya Fransiskus dihadapkan kepada pengadilan keuskupan, serta dipaksa mengembalikan segala harta milik ayahnya. Uskup Guido yang dapat memahami kemarahan ayah Fransiskus, menye tujui tuntutan itu. Fransiskus dipanggil untuk menghadap pengadilan uskup. Uskup memutuskan bahwa Fransiskus memang mesti mengembalikan harta milik ayahnya. Fransiskus tidak menunda pelaksanaan keputusan itu, la melaksanakannya secara radikal, la menanggalkan pakaiannya, meletakkan pada kaki ayahnya dan menaruh seluruh uang di atasnya, lalu ia menempatkan diri sepenuh penuhnya di bawah perlindungan uskup. Uskup yakin, bahwa Fransiskus benar-benar dipimpin Tuhan. Begitulah, Pietro Bernardone menolak Fransiskus sebagai anak dan ahli waris. Menurut berita, Fransiskus mengungkapkan pendiriannya begini, “Hingga sekarang aku menyebut Pietro Bernardone ayahku, tetapi aku telah mengambil keputusan untuk mengabdi kepada Tuhan. Maka aku mengembalikan kepadanya uang, yang menjadi alasan la amat gusar hati; juga pakaian yang kupakai ini, menjadi miliknya. Mulai sekarang aku akan berkata, ‘Bapa kami yang ada di surga’ dan bukan, ‘Bapa Pietro Bernardone”,”
Putuslah ikatan Fransiskus dengan hidupnya dahulu. Tidak ada berita bahwa hubungan Fransiskus dengan ayahnya pernah pulih. Tidak ada pula berita bahwa ibu Fransiskus masih berperan dalam hidup Fransiskus, apalagi adik-adiknya. Dengan terputusnya ikatan terakhir ini, selesailah pertobatan Fransiskus vahun 1207. Fransiskus telah “meninggalkan dunia” menurut penghayatannya sendiri.

0 Comments